27 Des 2009

Masjid Dua Alam

“Bulak, Bulak, yang cepet, yang cepet, ayo bu, bulak, yang langsung, yang langsung” sumbang nada para calo berkumandang mesra menawarkan angkutan menyapa telingaku begitu kutapakkan kedua sepasang sepatu Bataku di terminal Branang Siang. Akhirnya, setelah berjam-jam diaduk laut, berhari-hari dilempar terbanting di dalam bus AKAP, Bus Antar Kota Antar Propinsi, aku tiba di Bogor. Kota Hujan, Kota Istana Presiden, Kota Angkot, Kota Tegar Beriman, dan segala macam nama lainnya, namun yang kutahu, kota ini adalah kota dimana pertama kali aku menangisi nasib karena terlahir didunia, kota ini adalah kota dimana pertama kali aku membuang air kecil, kota ini adalah kota yang pernah menerima air mata pertamaku kala aku dijebloskan kedalam dunia. Dua puluh tahun lamanya aku meraup udara menghela nafas di kota ini, ratusan bulan purnama kulewati baik dengan tangis maupun tawa, tetap di kota ini. Namun tuntutan pekerjaan mengharuskanku meninggalkannya untuk sementara, terlempar ke sebuah pulau lain dibelahan Indonesia, Aceh. Lima tahun lamanya kutinggalkan Bogor demi mengejar secarik cahaya untuk menerangi masa depanku nanti. Kini masa kontrakku di Aceh telah selesai, aku pun pulang.
Tak tertahan rasa rinduku bertemu dengan kedua orangtuaku. Lima tahun bukan waktu yang singkat, terpisah dari mereka selama itu membuat hatiku menggembung karena rinduku. Rindu akan deheman ayah karena aku telat pulang dimalam minggu, rindu dengan celoteh riang ibuku yang menang arisan, rindu dengan dengkur ayah setelah menarik angkutan mengukur jalan sepanjang hari, rindu dengan pedasnya masakan sambal lado ibu, rindu, rindu, rindu.
“bulak, a’?” seorang calo menawariku untuk naik kesebuah angkutan. Tanpa pikir panjang langsung kunaiki angkutan tadi, sebab kulihat bangku yang kosong hanya tinggal sedikit, bisa langsung jalan, fikirku. Namun, begitu aku meletakkan kedua belah pantatku dijok tipis mobil tadi, beberapa orang penumpang yang ada di dalam mobil tadi langsung keluar, kurang ajar, ternyata mereka adalah antek-antek calo yang bertugas sebagai penumpang bohongan untuk menampilkan bahwa mobil siap berangkat. Setengah jam lamanya aku terjebak dalam angkutan kota tadi, menunggu mobil hijau dengan angka 03 diatasnya terisi penuh.
Pekarangan itu masih sama seperti dulu. Bunga-bunga tak jelas hias menghias disekitarnya, tak pernah ditanam namun tetap tumbuh. Sebuah mobil angkutan berwarna biru mendekam anggun dipelataran tanda ayah tak sedang mengukur jalan hari ini. Tentu saja beliau tahu ini hari kepulanganku hingga absen dari balapan jalanannya sehari ini.
“Assalamualaikum” kuucapkan nada salam seanggun mungkin, ingin menunjukkan; ini aku pulang dari serambi Mekkah, dengarkan salamku, beda dengan salam kalian.
“wa alaikum salam” suara yang kurindukan pedasnya sambal balado menyambut salamku. Ibu pun keluar dari kamar peraduannya,
“astaghfirullah hal’azim...” teriaknya sambil langsung berlari kedapur begitu melihatku.
Aku kaget, apakah tampangku jadi mirip setan setelah lima tahun mengaji di Aceh? Sampai ibuku lari menghindariku? Atau... fikiranku langsung menari, ragam tanya berlonjak-lonjak dalam sanubari, bingung akan kelakuan ibuku, apakah saking lamanya aku disana beliau sampai tak mengenaliku? Atau dandananku sekarang jadi mirip dengan GAM?
Selang beberapa saat ibu keluar, segera kuraih tangannya, kusalami dengan penuh tafakkur. Betapa rindu aku dengan tangan ini, tangan yang membuatkan sambal balado yang pedasnya menggoyang lidah membuat lupa ingatan.
“Abeb, kapan pulang?” tanya ibu
Eh, tunggu dulu. Bukankah dalam message terakhirku sudah kusampaikan kalau aku akan tiba dirumah hari ini?
“barusan aja nyampe Bogor, mi. Memang Umi gag tau kalo Abeb pulang hari ini?” tanyaku bingung.
“Engga, makanya tadi Umi kaget liat Abeb tau-tau nongol di depan pintu.”
“emang SMS Abeb gag Umi baca?”
“Hape lagi dibawa adekmu ke Jambu Dua, ada yang rusak, jadi untuk sementara Umi gag pake hape” terang Ibu. Aku memanggil Ibu dengan sebutan Umi, bahasa Arab dari Ibu.
“Terus tadi Umi kenapa kaya orang liat setan gitu waktu liat Abeb? Emang tampang Abeb udah kaya teroris sekarang?” tanyaku.
Umi tersenyum mendengarnya, “bukan gitu, tadi waktu Umi sedang setrika baju di kamar, Umi lupa kalau sedang ngegoreng tempe, eh begitu Umi liat ada tamu, baru keinget, untung gag gosong”
“Abi mana, mi?”
“Sedang kenduri di rumah Wak Jarwo, istrinya meninggal”
Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya. Ternyata Abi absen dari balapan jalanan hari ini bukan untuk menyambut kepulanganku, tapi karena ada tetangga yang meninggal.

Pengajian berlangsung hidmat. Di Musholla kecil komplek perumahanku sedang diadakan pengajian Yasin untuk mendoakan almarhum yang baru meninggal agar amalannya diterima oleh Yang Maha Mematikan. Alunan surat Yasin kini terdengar berbeda, sebab lintingan tajwid orang Bogor dengan orang Aceh berbeda. Namun tetap saja, yang dibaca adalah salah satu Surat dari Al-Quran. Seusai pengajian aku iseng-iseng keluar menghirup sejuknya tiupan sendu angin malam Bogor. Rindu aku akan dinginnya terpaan angin gunung salak.
Sedang asik menikmati suasana malam yang hidup dengan lintasan-lintasa pembalap jalanan yang berlomba mencari penumpang demi menghidupkan api kompor mereka esok hari, mataku tertumbuk kesebuah masjid disisi jalan. Nampaknya ada pengajian disana. Aku memang maniak dengan yang namanya pengajian, dimana ada pengajian disitu aku ada, sampai ada anomali seperti itu menghinggapiku. Segera kuarahkan stang sepeda motorku kearah masjid tadi.
Sesampainya dimasjid itu terdengarlah alunan ayat suci Al-Quran menggoyang kalbuku, menghipnotis lidahku untuk mengikuti bacaannya. Setelah sekian lama terpaku mendengar kajian tadi, tiba-tiba salah satu jama’ah pengajian keluar,
“masuk atuh, ikut ngaji disini.” Katanya ramah.
Aku tersenyum lebar, memang ini ajakan yang dari tadi kutunggu. Segera ku ambil wudhu dan bergabung dalam pengajian tersebut. Sungguh tak terlukiskan perasaanku ketika duduk dikarpet masjid itu, puluhan masjid telah kusambangi selama seperempat abad usiaku, tak terhitung pengajian yang aku ikuti selama hayatku menyangga ruhku. Namun ada yang berbeda dengan pengajian kali ini, terasa jauh lebih syahdu, tajwid-tajwid dilinting dengan rapi, bagaikan tetesan madu disarang lebah, sungguh manis memanja jiwa. Hingga jauh malam aku mengaji disana, tepat pukul dua belas malam pengajian dibubarkan, kusalami sang Imam yang memimpin pengajian. Dingin, itu kesan pertama ketika tanganku menjabat tangannya. Dingin namun nyaman, diikuti dengan wangi yang asing bagiku, bukan wangi parfum, bukan wangi sabun, entah wangi apa yang dipancarkan dari tangannya, namun yang jelas, aku yakin kalau ada wanita yang mencium harum tangan itu, pasti wanita itu akan segera jatuh cinta.
Lepas malam itu, rutinlah kuikuti pengajian setiap malam dimasjid itu. Namun yang aku heran, setiap aku melewati perumahan disekitar masjid tadi, aku selalu diikuti pandangan aneh dari orang-orang kampung situ. Satu pertanyaan merasuk benakku, apakah masjid yang aku datangi itu masjid aliran? Masjid yang jama’ahnya berbeda mazhab dari empat mazhab utama? Tapi yang kulihat pada pengajian yang setiap malam kuikuti tak ada yang salah dengan tata cara mereka menyembah Tuhan yang kusembah. Sama, bahkan kulihat nampak mereka jauh lebih syahdu dan khusyu dalam menghadap, seakan mereka melihat langsung Tuhan yang telah menciptakan mereka. Jadi kuacuhkan saja tatapan aneh orang-orang itu, selama aku benar mengapa harus peduli dengan pandangan orang?
Lintingan tajwid yang lembut nan elok menawan dari Imam masjid membuatku ingin mengenal sang Imam lebih jauh, lalu pada suatu malam kuberanikan diri untuk menanyakan rumah sang Imam. Lalu kuputuskan untuk berkunjung kerumahnya esok hari, sebab kalau malam ini sudah tidak mungkin, jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas, sungguh bukan hal yang sopan bertamu kerumah orang dikala orang sedang diperaduan mereka.
Esokan harinya, kudatangi alamat yang semalam diberikan sang Imam. tiba dialamat yang diberikan, kuketuk pintu. Selang beberapa saat keluarlah seorang anak, usianya paling baru belasan, yang kuduga cucu sang Imam. Saat melihatku, ia terkejut, mungkin karena aku dikenali sebagai orang yang sealiran dengan kakeknya, lalu ia bertanya dengan takut-takut,
“ada apa ya?”
“ini betul rumah Ajengan Nuh?” tanyaku. Imam yang biasa memimpin pengajian dimasjid itu disebut Ajengan sedangkan namanya sendiri adalah Nuh.
Bocah itu berkerut kening, seakan sedang berpikir, maaf, bukan seakan karena memang ia sedang berpikir,
“bukan, disini gag ada yang namanya Ajengan Nuh.” Katanya yakin.
Aku terkejut, lalu bertanya lagi, “
“ini bener gang Rante nomer 12, khan?” kataku sambil mengingat alamat yang semalam diberikan oleh sang Ajengan.
“iya bener, ini memang gang Rante nomer 12, tapi gag ada yang namanya Ajengan Nuh disini”
Aku semakin bingung, lalu selintas kulihat kedalam rumahnya, ada foto ukuran besar terpampang didinding ruang tamunya, foto Ajengan Nuh.
“kalau gitu, adek tau gag rumahnya Ajengan Nuh?” tanyaku sabar.
“digang sini gag ada yang namanya Ajengan Nuh, A’” katanya
Apa mungkin aku salah dengar semalam? Hatiku bertanya.
“kalau gitu adek tau gag, rumah orang yang ada dalam photo itu dimana?” tanyaku sambil menunjuk photo Ajengan Nuh.
Ia menoleh melihat arah telunjukku, lalu tercenung sebentar, lalu katanya, “ini memang rumah buyut, tapi buyut bukan ajengan Nuh”
Ternyata benar ini rumahnya.
“ooh, itu buyut kamu? Buyut ada dirumah gag?”
Ia menatapku dengan pandangan aneh, seperti melihat orang gila. Lalu ia berkata,
“gelo sia” sambil berkata begitu ia berbalik masuk kerumah dan menutup pintu.
Aku terbengong. Aku dibilang gila? Perasaan aku tak melakukan tindakan apapun yang mengindikasikan kalau aku adalah orang gila, kenapa tiba-tiba anak tadi mengatakan aku gila? Kuketuk lagi pintunya agak keras, tiba-tiba pintu terbuka, seorang wanita paruh baya keluar.
“ibu, maaf, saya mau ketemu Ajengan Nuh” kataku menjelaskan maksud kedatanganku, “Ajengan ada, bu?”
“pergi, pergi. Dasar orang gila.” Katanya sambil mengusirku dengan sapu.
Aku semakin bingung, bukan hanya disangka gila tapi aku juga diusir. Tapi jurus-jurus pukulan Sapu Jagad si ibu tak memberiku kesempatan untuk berpikir, langsung kukeluarkan jurus Kaki Seribu Angkat Kaki meninggalkan si ibu yang berdiri berkacak pinggang bangga.
Malam itu kajiku tak khusyuk. Kesabaranku menari-nari bak berdiri ditengah kobaran api menunggu pengajian usai. Aku ingin bertanya kepada sang Imam kenapa ia membohongiku kemarin, dan kenapa orang menganggapku gila ketika aku mau bertemu dengannya.
Pukul sebelas lima puluh sembilan menit, semenit lagi pengajian selesai. Tak pernah kurang tak pernah lebih dari jam dua belas malam tepat pengajian selalu selesai. Aku merasa setiap detik yang berlalu sangatlah lama, seakan-akan waktu menghianatiku membuatku menunggu lebih lama dari biasanya.
Pukul sebelas lima puluh sembilan menit empat puluh lima detik,
DOR!
DOR!
Suara letupan keras menghambur diikuti robohnya dua orang jema’ah, darah bersimbah dari pakaian putih mereka.
Orang-orang berseragam hijau masuk, pakaian seragam mereka mengingatkanku pada tentara-tentara Jepang yang ada diacara-acara tivi ketika hari kemerdekaan. Ini bukan bohongan, aku tahu itu, sebab aku pernah mengikuti sebuah acara pementasan mengenai perlawanan bangsa Indonesia terhadap bangsa Belanda dan Jepang, seragam yang mereka kenakan sama, orang yang baru masuk ini dan orang yang melakonkan penjajah Jepang dipementasan itu. Tapi walaupun seragam yang mereka kenakan sama, ada aura berbeda dari orang-orang yang baru datang ini, aura pembunuh yang sangat kental.
Duak!! Sebuah sepatu laras panjang mampir dipipiku, membuat mataku nanar, diikuti dengan suara-suara tembakan melengking-lengking dari senapan yang disandang orang-orang berseragam hijau. Para jama’ah satu persatu tersimbah darahnya, memerahkan pakaian mereka yang putih. Tak sempat kepalaku untuk mencerna apa yang sedang terjadi,
DOR!
Sebuah timah panas bersensasi dingin menembus dadaku, tepat mengenai jantungku, menghancurkannya, menghentikan peredaran darah nadiku. Pandanganku mulai gelap, rasa sakit yang teramat sangat datang, ternyata ini yang namanya sakaratul maut, sakitnya sungguh tak tertahankan. Perih, pedis, sakit, gatal, segala macam rasa yang menyiksa kini hadir secara serentak dalam skala yang jauh lebih besar dari apa yang pernah aku alami. Hingga rasa sakit itu hilang, kesadaranku pun mulai terbang.



Radar Bogor Edisi Sore, Sabtu 12 Desember 2012
Pemuda Gila Mati Ditembak
Seorang pemuda berinisial SMA ditemukan mati disebuah masjid tak terpakai di gang Rante, Gunung Batu, Bogor. Diperkirakan pemuda tersebut telah tewas pada Jumat malam, mayat ditemukan oleh warga pagi harinya. Setelah diselidiki oleh pihak kepolisian, diduga kematian pemuda tersebut disebabkan oleh tembakan yang tepat mengenai jantungnya. Namun anehnya, walaupun tertembak tepat dijantungnya, polisi tidak berhasil menemukan peluru yang menghabisi nyawa sang pemuda tersebut. Diketahui dari warga setempat, pemuda tersebut adalah seorang pemuda yang kurang waras yang sering datang ke komplek tersebut beberapa hari terakhir.
“ia, dia gila. Dia pernah dateng kerumah mau ketemu sama kakek saya yang udah mati waktu jaman penjajahan Jepang.” Jelas Nurimah, seorang warga yang pernah didatangi rumahnya oleh korban.
Menurut warga, pemuda tersebut datang kekomplek mereka setiap malam lalu duduk di sebuah masjid peninggalan jaman penjajahan Jepang yang akan dirubuhkan dan baru pergi dari masjid tersebut setelah pukul dua belas malam.
“awalnya kita sangka dia sedang nyari wangsit buat nomer togel, soalnya tiap malem dateng dah gitu duduk sendirian dimasjid yang gag kepake, kalo bukan nyari nomer togel ngapain lagi atuh?” tambah Nurimah.
Pihak kepolisian sendiri sampai saat ini masih melakukan penyelidikan terhadap pembunuhan yang terjadi di Masjid yang rencananya akan dibongkar hari ini, namun dibatalkan karena pihak polisi masih memeriksa tempat kejadian.
“kita akan usut kasus ini sampai tuntas, kami berjanji akan menemukan pembunuhnya dan memberinya hukuman yang seadil-adilnya,” janji Kapolsek Polresta Bogor saat ditemui terkait kasus pembunuhan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar